Rabu, 28 Juli 2010

RSBI Kesulitan Cari Guru Berkualitas

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI masih banyak yang kesulitan mendapatkan guru berkualitas. Semestinya RSBI memiliki guru berpendidikan S-2 minimal 30 persen dari jumlah guru, tetapi kenyataannya baru 5-15 persen yang memenuhi kualifikasi itu.

'Mereka pun kuliah dengan biaya sendiri.'
-- Pardi Hardisusanto

Bantuan pemerintah dalam meningkatkan kualifikasi guru dinilai sangat minim sehingga dituding menjadi salah satu penyebabnya. Di SMP Negeri 8 Yogyakarta, misalnya, baru empat dari 75 guru yang bergelar S-2.

Mereka pun kuliah dengan biaya sendiri, kata Kepala SMP Negeri 8 Yogyakarta Pardi Hardisusanto di Yogyakarta, Rabu (21/7/2010) kemarin.

Menurut Pardi, selama ini SMP Negeri 8 Yogyakarta belum pernah menerima bantuan beasiswa untuk menyekolahkan guru ke tingkat S-2. Sementara itu, pendapatan guru terlalu minim untuk melanjutkan sekolah S-2 dengan biaya sendiri.

Sejak empat tahun lalu, SMP Negeri 8 Yogyakarta mulai menyelenggarakan kelas internasional. Jumlah kelas internasional tersebut terus bertambah hingga tahun keempat ini.

Minimnya guru yang telah memenuhi kualifikasi ini, menurut Pardi, merupakan kendala utama sekolah untuk meningkatkan status menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Selain itu, para guru juga masih mempunyai kendala dalam mengajar menggunakan bahasa Inggris. Hal tersebut karena para guru tidak pernah dipersiapkan untuk mengajar dalam bahasa Inggris.

Hal yang sama dialami SMA Negeri 3 Yogyakarta. Sekolah yang tahun ini membuka 21 kelas internasional itu belum bisa memenuhi kualifikasi guru yang disyaratkan.

Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum SMA Negeri 3 Yogyakarta Kusworo mengatakan, baru 12 dari 50 guru SMA tersebut yang telah bergelar S-2. Di sekolah itu pun sebagian besar guru menggunakan biaya sendiri untuk kuliah S-2.

Kepala Bidang Perencanaan dan Standardisasi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DI Yogyakarta Baskara Aji mengakui, kualifikasi guru masih sulit ditingkatkan. Dari 76 RSBI di DIY, belum satu pun yang berhasil menjadi SBI. (IRE)

Sumber: Kompas.Com

30.822 Sarjana di Bekasi Bersetatus Pengangguran

BEKASI--MI: Sekitar 30.822 lulusan perguruan tinggi dan sekolah akademi di wilayah Kota Bekasi, Jawa Barat, masih berstatus pengangguran. Data tersebut diperoleh dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) setempat selama kurun waktu 2009.

Kepala Disnakertrans Kota Bekasi, Junaedi, di Bekasi, Minggu (14/3), mengatakan para pencari kerja itu terdata berdasarkan jumlah pembuatan Kartu Kuning (KK) sebagai salah satu persyaratan kerja.

"Mayoritas pemohon kartu kuning itu memiliki latar belakang pendidikan D3, dan S1. Sementara sisanya berasal dari lulusan akademi, total semuanya berjumlah 30.822 orang" katanya.

Menurut Junaedi, total jumlah pencari kerja pada tahun 2009 sebanyak 93.402 orang, 33 persen diantaranya merupakan lulusan akademi dan perguruan tinggi. "Saya rasa hingga kini jumlah tersebut tidak mengalami pengurangan yang cukup signifikan," katanya.

Junaedi menambahkan, jumlah pencari kerja dari kalangan pelajar lulusan SMA dan sederajat pada tahun 2009 sebanyak 61.645 orang. "Lowongan pekerjaan yang tersedia sebagian besar adalah industri dan Pegawai Negeri Sipil (PNS)," katanya.

Secara terpisah, Kepala Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Bekasi, Joko Susilo, mengatakan Pemerintah Kota Bekasi idealnya membuka bursa lowongan tenaga kerja secara rutin setiap bulan. Hal ini guna menekan angka pengangguran di wilayah setempat.

"Idealnya Pemkot Bekasi mengelar kegiatan bursa lowongan tenaga kerja secara rutin setiap bulannya. Selain itu, perlu adanya jalinan kerjasama dengan seluruh pelaku usaha bisnis di kawasan industri guna memprioritaskan tenaga kerja lokal dalam penyerapan karyawan," ujarnya. (Ant/OL-06)

Sumber: Media Indonesia Online

60 Persen Lulusan PT Menganggur

Surabaya, Kompas - Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 60 persen lulusan perguruan tinggi menganggur. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah perlu segera mengubah fokus pendidikan tinggi dari akademis ke vokasi.

Jumlah lulusan perguruan tinggi baik program diploma maupun sarjana lebih dari 300.000 orang per tahun. Adapun jumlah mahasiswa vokasi perguruan tinggi negeri dan swasta tahun 2005 sebanyak 838.795 orang, tahun 2006 menjadi 1.256.136 orang dan 2007 turun menjadi 979.374 orang.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Erlangga Satriagung di Surabaya, Rabu (14/1), mengatakan, lapangan kerja rata-rata hanya menyerap 37 persen lulusan perguruan tinggi (PT). Bahkan, beberapa tahun ke depan diperkirakan daya serap itu menurun karena pengaruh resesi.

Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Priyo Suprobo mengatakan, kondisi itu memang ada benarnya. Hal itu terutama terjadi pada program akademis. ”Sebaliknya untuk pendidikan vokasi seperti politeknik justru kekurangan lulusan untuk disalurkan ke dunia kerja,” ungkapnya.

Karena itu, sudah seharusnya pemerintah lebih memerhatikan pendidikan vokasi. Pemerintah harus berani memberi anggaran lebih besar untuk pendidikan vokasi. ”Penyelenggaraan pendidikan vokasi butuh dana besar, terutama untuk praktikum mahasiswa agar terampil,” katanya.

Secara terpisah, penasihat Dewan Pendidikan Jatim, Daniel M Rosyid, mengatakan, tidak semua lulusan sekolah menengah layak masuk perguruan tinggi. ”Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003 mengungkapkan hanya 20 persen layak masuk ke perguruan tinggi jenjang sarjana,” ujarnya.

Priyo Suprobo mengatakan, perguruan tinggi perlu membekali mahasiswanya dengan soft skill, terutama pada attitude serta keterampilan wirausaha. Kedua hal itu sangat berguna bagi mahasiswa setelah lulus. (RAZ)

Retur Insentif Penilik Tahun 2010

Banyaknya data Penilik yang tidak cocok dengan buku tabungan menyebabkan dananya retur.

Penyebab dananya tidak cair, dikarenakan adanya kesalahan pada data diantaranya: tidak sesuai nama di data dengan nama yang ada di buku tabungan, salah no rekening, rekening pasif, rekening tidak aktif.

Untuk memproses ulang harus mengirimkan fotocopy rekening tabungan ke Dit. PTK-PNF Gd. D Lt. 13 Kemendiknas Jl. Jend. Sudirman Pintu 1 Senayan Jakarta. atau fax. 021-57974118 (cantumkan no. HP).

Nama-nama penilik yang sudah di proses bisa di download di index pustaka. Yang sudah di proses insentif Penilik pada bulan April sebanyak 1227 orang dan pada bulan Juni sebanyak 2457 orang.

Bagi nama yang belum ada kemungkinan tidak lengkapnya data yang dikirim yaitu: SK pertama menjadi Penilik, Foto copy rekening, foto copy KTP. Rencana pencairan berikutnya pada akhir bulan Agustus 2010.

sumber:jugaguru.com

PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MEMBANGUN KEBERADABAN BANGSA

Mengawali tulisan ini, patut kiranya kita memberikan “makna” lebih tentang tema besar yang diangkat pada acara Hari Pendidikan Nasional tahun 2010 yakni ”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa”.

Karena Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.

”Dari mana asalmu tidak penting, Ukuran tubuhmu juga tidak penting, Ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak” Simak, telaah, dan renungkan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap; kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian.

Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.

Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan.

Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.

Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa”, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi.

Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia.

Pesan akhir tulisan ini, berikan layanan yang terbaik kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan sehingga terwujud masyarakat yang ”beradab” yang mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia........ Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. (Muktiono Waspodo)

Pendidikan Karakter Integral

Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik.

Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral.

Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.

Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik.

Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.

Menjaga keutuhan
Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Adanya bantuan sosial untuk mengembangkan keutamaan merupakan ciri sebuah lembaga pendidikan. Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan sosial ini tidak berfungsi sebab anak malah tergoda menjadi pencuri.

Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah indikasi bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang makna kejujuran dalam konteks pendidikan. Mereka tidak mampu melihat persoalan yang lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan kita. Kejujuran semestinya tidak dipahami sekadar anak jujur membeli barang di toko.

Padahal, di depan mata, nilai-nilai kejujuran dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, vandalisme halaman buku yang disimpan di perpustakaan, dan simulasi, yaitu mengaku telah mengumpulkan dan mengerjakan tugas, padahal sebenarnya tidak. Hal-hal inilah yang mesti diseriusi oleh para pendidik jika ingin menanamkan nilai kejujuran dalam konteks pendidikan.

Mencontek telah menjadi budaya dalam lembaga pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan dengan kelemahan individu per individu, melainkan telah membentuk sebuah kultur sekolah yang tidak menghargai kejujuran. Masifnya perilaku ketidakjujuran itu telah menyerambah dalam diri para pendidik, siswa, dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.

Tiga basis
Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.

Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi.

Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.

Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.

Doni Koesoema A Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, US

Mendiknas akan Tindak RSBI Nakal

JAKARTA(SI) – Pemerintah akan menindak sekolah berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) jika menemukan pemungutan mahal dari ketentuan yang ada.


"Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan, pihaknya juga meminta kepada para orang tua untuk melaporkan jika menemukan tindak pemungutan dari sekolah. Praktik permintaan sumbangan telah menimbulkan stigma negatif terhadap RSBI.“Kami akan memberikan teguran dan mengawasi perkembangannya terhadap proses RSBI,”katanya di Jakarta kemarin. Mantan menkominfo ini mengatakan, kementerian tidak langsung menutup sekolah tersebut. Jika kesalahan tetap dilakukan,sanksi administratif akan diberikan. Mendiknas dengan tegas menyatakan, evaluasi secara komprehensif akan dilakukan kepada sekolah internasional ini."(SI,1 Juni 2010)

Rintisan Sekolah Berstandar Internasional mengindikasikan bahwa pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan, terutama pendidikan dasar 9 tahun belum menjadi keprihatinan pemerintah, sebab RSBI di sekolah negeri, yang diterapkan pada sekolah tingkat dasar, dengan pembiayaan yang mahal dan membebani rakyat telah melanggar Konstitusi.

Mendiknas: SBI Perlu Dievaluasi Bukan Dibubarkan

Padang (ANTARA) - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menyatakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) perlu dibenahi dan bukan dibubarkan.

"RSBI merupakan upaya menuju SBI yang diamanat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003. Maka perlu dievaluasi yang menjadi keluhan di masyarakat," katanya di Padang, Rabu.

Mendiknas melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Barat selama dua hari (Selasa-Rabu), dengan agenda meresmikan dua SDN yang hancur diguncang gempa 30 September 2009 dan kembali dibangun asal dana donatur.

Selain itu, menggelar pertemuan dengan unsur pendidikan se-Sumatera Barat, serta melihat rumah mahasiswa penerima beasiswa di Padang.

SBI sudah menjadi tuntutan UU yang setiap Pemerintah Daerah, setidaknya ada satu SBI dengan rentang waktu yang dimulai 2006.

Justru itu, kata Mendiknas, untuk memenuhi amanat UU pemerintah daerah memulai dengan RSBI dengan tenggat waktu empat sampai lima tahun.

Kendati demikian, apakah bagi yang belum ada atau belum berjalan dengan semestinya dibiarkan begitu saja?, tentu tidak, makanya harus dirintis sehingga satu saat menjadi SBI.

Oleh karenanya, Kemendiknas sudah memprogram evaluasi secara menyeluruh RSBI yang ada di Indonesia, dimana kelemahan akan dibenahi. Jika, berkaitan dengan pembiayaan yang dinilai menjadi kekhawatiran penyimpangan, hal itu yang harus dievaluasi dan dirubah.

Terkait, amanat UU harus dijalankan sehingga ke depan sesuai dengan semestinya dan bukan harus dihentikan/dibubarkan. "Makanya mulai Juli 2010 Kemendiknas sudah mulai melakukan evaluasi secara menyeluruh sehingga ditargetkan Agustus mendatang sudah keluar kebijakan baru tentang RSBI," katanya. Kesempatan itu, Mendiknas juga menyampaikan, ruang lingkup Kemendiknas cukup luar biasa banyak sehingga mau tidak mau harus meriform sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, tambah Nuh, harus bisa dimaklumi sehingga ke depan dalam perjalanan reformasi birokrasi sesuai harapan, dan jangan ditambah lagi persoalannya ada.

Menyinggung anggaran pendidikan nasional, Mendiknas menyampaikan, pada 2010 sebesar Rp225 triliun, dari jumlah tersebut senilai Rp141 triliun habis untuk tunjangan guru dan dosen. Sedangkan sampai 2014, tambahnya, simulasi anggaran pendidikan nasional sebesar Rp330 triliun, dengan alokasi gaji guru dan dosen mencapai Rp243 triliun. Namun, sisanya masih tetap sekitar Rp70 triliun - Rp80 triliun untuk sarana pendidikan dan peningkatan mutunya.

Jadi, kata Mendiknas, meski naik anggaran pendidikan tetapi yang tersisa tetap tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Sementara masyarakat di tanah air ini menunggu kontribusi besar dari yang sudah mendapatkan komposisi lebih banyak. Justru itu, reformasi pendidikan nasional dimulai dengan dimulai dengan pendataan organisasi dan tata laksana. Selain itu, perlu reformasi penguatan SDM dan budaya kerja, serta pemanfaatan teknologi.

Berikutnya, pemulihan Penilai Tahap Kecakapan (PTK) yang bekaitan dengan profesionalisme (kualifikasi, sertifikasi, kompetensi dan karir). Mendiknas menyebutkan, berikutnya dilakukan upaya pemenuhan sarana dan prasarana, serta diperlukan reformasi sistem pembelajaran (isi, metodologi dan evaluasi) sehingga tujuannya tercipta pendidikan berkualitas, merata dan terjangkau.

Lingkungan Keluarga yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang berpengaruh terhadap perilaku dalam perkembangan anak. Tujuan pendidikan secara universal adalah agar anak menjadi mandiri, bukan hanya dapat mencari nafkahnya sendiri, tapi juga bisa mengarahkan dirinya pada keputusannya sendiri untuk mengembangkan semua kemampuan fisik, mental, sosial dan emosional yang dimilikinya, sehingga dapat mengembangkan suatu kehidupan yang sehat dan produkif.

Motivasi belajar adalah sesuatu yang diperoleh dan dibentuk oleh lingkungan, serta merupakan landasan esensial yang mendorong manusia untuk tumbuh, berkembang, dan maju dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Fungsi – fungsi dasar seperti kehidupan nalar (rasio), kehidupan perasaan, keterampilan psikomotorik maupun intuisinya, yaitu suatu kondisi kesadaran yang dilandasi ketidaksadarannya. Penyatuan fungsi- fungsi tersebut akan menumbuhkan kemampuan kreatif anak untuk menempuh hidup dengan kemampuan motivasi yang terarah.

Untuk itu dalam lingkungan rumah harus diciptakan kondisi yang kondusif bagi anak, yaitu suatu suasana yang demokratis yang terbuka, saling menyayangi, dan saling memercayai. Komunikasi dua arah antara orang tua dan anak sangat penting dibangun bagi perkembangan anak. Dengan landasan inilah anak akan berkembang menjadi pribadi yang harmonis, yaitu anak lebih peka terhadap kebutuhan dan tuntutan lingkungan, dan lebih sadar akan tujuan hidupnya, sehingga menjadi lebih termotivasi dan lebih yakin dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Sarana belajar juga dianggap sebagai salah satu prasyarat motivasi belajar, meskipun bukan menjadi suatu ukuran mutlak untuk perwujudan peningkatan motivasi belajar. Tentu saja, sarana fisik dapat berguna bagi peningkatan motivasi belajar, apabila dimanfaatkan secara efektif.

Suatu lingkungan keluarga baru dapat dikatakan berusaha memenuhi tuntutan motivasi belajar, apabila keluarga tersebut dapat mengadakan lingkungan yang kaya stimulasi mental dan intelektual, dengan mengusahakan suatu suasana dan sarana belajar yang memberikan kesempatan kepada anak secara spontan dapat menyatakan dan memerhatikan diri terhadap berbagai kejadian di dalam lingkungannya. ( Conny Semiawan)

Pentingnya Disiplin bagi Anak

Disiplin secara luas dapat diartikan sebagai semacam pengaruh yang dirancang untuk membantu anak agar mampu menghadapi tuntutan dari lingkungan. Disiplin tumbuh dari kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kecenderungan dan keinginan individu untuk berbuat sesuatu yang dapat dan ingin diperoleh dari orang lain atau karena situasi kondisi tertentu, dengan pembatasan peraturan yang diperlukan oleh lingkungan.

Tujuan disiplin bukan untuk melarang kebebasan atau mengadakan penekanan, melainkan memberikan kebebasan dalam batas kemampuan anak. Sebaliknya, bila berbagai larangan itu amat ditekankan, maka anak akan merasa terancam dan frustrasi serta memberontak, bahkan akan mengalami rasa cemas yang menjadi suatu gejala yang kurang baik bagi pertumbuhan anak. Tanpa disiplin, tanpa mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh, seorang anak pada umumnya tidak akan survival dalam hidupnya.

Ia akan berbuat semau gue tanpa peduli pada lingkungan di sekitarnya. Melalui peraturan dan disiplin maka anak akan terhindar dari konsekuensi bahaya yang berasal dari tindakannya pada saat tertentu. Peraturan juga akan menjadi pegangan dalam hidup seseorang.

Bagi anak disiplin bersifat arbitrair, yaitu suatu konformitas pada tuntutan eksternal, namun bila dilakukan dalam suasana emosional yang positif, maka akan menimbulkan keikhlasan dalam dirinya untuk berbuat sesuai peraturan, tanpa merasa dirinya takut atau terpaksa.

Dengan demikian tidak terjadi yang dinamakan “disiplin bangkai” (cadaveric discipline) yaitu kepatuhan yang ditaati karena takut dan merasa terpaksa. Disiplin membantu anak menyadari apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan darinya, dan membantunya bagaimana mencapai apa yang diharapkan darinya tersebut.

Disiplin di sekolah seharusnya merupakan tata peraturan yang meningkatkan kehidupan mental yang sehat dan memberikan cukup kebebasan untuk berbuat secara bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan yang ada murid. Peraturan disiplin seperti ini akan menjadi kebiasaan-kebiasaan yang baik, bahkan akan berkembang menjadi disiplin diri (self discipline) bila peraturan itu dipegang secara konsisten (ajeg).

Sebaliknya, disiplin sekolah yang membatasi murid sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas, akan memupuk pola emosional yang tidak sehat karena memperlakukan anak dengan cara-cara yang kurang tepat sehingga hasil belajar siswa nya juga tidak akan maksimal. (disadur dari buku “Penerapan Pembelajarn Pada Anak” oleh Conny R. Semiawan)

Senin, 26 Juli 2010

les privat sby

les privat sby adalah lembaga bimbingAn belajar suprauno. kami bertempat di jalan kedungtarukan baru 4b no 15 surabaya.

kami menawarkan 2 macam program pembelajaran yaitu les kelas dan les privat. les kelas yaitu siswa datang ketempat bimbel surabaya ini sedangkan les privat adalah guru yang datang kerumah siswa.

les kelas pembayaran dilakukan setiap bulan sedang kan les privat di hitung tiap kali pertemuan dan pembayaran dilakukan sesuai dengan perjanjian sebelumnya.

dari segi pembelajaran les privat lebih efektif di banding dengan les kelas. karena dalam les privat satu siswa di handel oleh satu guru sedangkan les kelas satu guru harus menghandel beberapa siswa.

AYO DAFTARKAN SEKARANG JUGA BIMBEL SURABAYA DENGAN MENGHUBUNGI KAMI DI : 83314333.